Banyak Terima Kasih, karena..

dari setiap hal yang terjadi, ada perspektifnya masing — masing.

Myra Saviera
8 min readMay 8, 2022

Sehingga memiliki kerendahan hati untuk mendengar dan ikut campur membantu orang lain di waktu yang tepat, bisa jadi privilese yang mengilhami.

Namun demikian, tidak semua punya kapasitas itu.

Malam harinya, selepas aku pergi kontrol ke dokter, kumasukkan baju ternyaman dan perlengkapan kerja ke dalam koper yang paling mudah dibawa dan laptop kerja dalam tas berukuran besar. Skripsiku, buku yang ingin kubagikan, dan niat hati yang akhirnya kuwujudkan dalam beberapa hari kedepan. Esok pagi, sampai satu jam lebih pagi di Stasiun kereta. Aku tahu pasti akan menghabiskan waktu yang menyenangkan dalam obrolan santai. Terlebih, ketika mendapati diriku mengambil hal — hal untuk dipelajari dari perjalanan ini.

Aku percaya diri mengklaim bahwa aku tahu apa yang ku mau. Namun nyatanya aku seperti tidak tahu sama sekali apa yang kumau. Aku katakan; Aku loh, bisa lakukan apapun sendiri, tapi ternyata tidak semuanya. Tidak selalu begitu. Jadi pada lembar buku tulis yang kubawa, kutulis besar — besar “Aku minta maaf”.

Sekarang waktunya boarding. Walaupun kereta akan sampai 15 menit kedepan, lebih baik kutunggu di Peron daripada terlambat. Ada tempat duduk di tengah perbatasan antar peron. Aku duduk di sana, menyaksikan orang — orang ripuh dengan bawaan; Porter yang sigap membantu; dan penumpang kereta yang mantap berpergian menuju tujuannya masing — masing. Kurasakan damai yang sudah lama tidak hadir dalam beberapa waktu belakangan ini.

Dalam waktuku menunggu kereta sampai, kubawa lamunanku ke masa lampau. Saat ku masih SD, kulihat orang dewasa pandai memutar balikkan fakta dan penuturan. Hampir seperti pembohong, karena yang dikatakan dan dilakukan acapkali tidak sejalan. Tapi, terkadang perkataan orang dewasa ini benar. Memang mereka bicara soal kenyataan pahit dan tak jarang jahat atas nama kejujuran. Mereka membuat janji — janji hebat tapi sulit menepatinya. Mengatakan hal besar, kemudian di akhir hari melepasnya. Mungkin saja mengatakan hal — hal itu memberikan mereka kekuatan dan lebih didengar?

Namun atas trade-off seperti apa? Hilangnya kepercayaan akan perkataan yang terucap? Mungkin mereka tidak sadar hal ini, tapi mungkin saja aku masih tidak tahu banyak. Kututup pemikiranku pada pemahaman pasti ada alasannya dan akan selalu ada kata maaf untuk bisa diterima. Namun tidak mungkin terlupa.

Keretanya sudah datang. Gerbong nomor 8, tempat duduk nomor 8D. Kususuri deretan bangku kosong, dan kutemukan mudahnya. Akhirnya sampai di kota tujuanku di sore hari, disambut hujan, dan dering telepon serta pesan beberapa teman.

“Sudah sampai?”

Have a nice trip yah!”

“Paketnya sudah datang ya mbak”

“Sampai jumpa nanti malam, kita makan sambil ngobrol aja ya”

Ku tersenyum, memahami bahwa memang dunia ini akan selalu berjalan bagaimanapun kondisinya. Perjalanan tujuh jam tidak terasa sama sekali. Seperti sangat lancar dan terlewati begitu segeranya, mungkin karena sembari menunggu duduk aku mengerjakan pekerjaan kantor. Karena akhirnya aku sampai kota tujuanku dan kutemukan diriku mencari mobil bapak supir taksi online yang sudah kupesan sebelum ku sampai di Stasiun. Kuderek koperku dengan pasti.

Tangan yang satu ripuh membawa tas — tas, dan tangan yang satu memegang telepon. Hal ini membuatku merasa seperti orang ‘keren’ yang sibuk sekali, ha ha ha. Kumasukkan satu — persatu bawaanku pada mobil yang sudah basah karena hujan turun makin deras. Dibantu bapak supir yang sudah paruh baya, kusapa beliau dan aku mematikan telepon untuk berbincang dengannya.

Dalam perjalanan menuju penginapan, kukatakan pada diriku aku boleh mencicipi kebahagiaan dengan bentuk baru, pada orang — orang yang baru. Manusia berubah begitupun dengan perasaan. Aku jadi merasa hatiku yang tadinya berat menjadi lebih ringan dengan pemikiran ini. Masa lalu yang kubawa adalah sejauh sebagai pengingat untukku belajar. Wajar untuk memiliki memori. Namun itu hanya bagian dari pikiran, hal itu tidak serta-merta mendefinisikan aku yang sekarang.

Beberapa hari di Kota ini, aku mengunjungi sudut kota hingga Desa yang jauh dari Kota. Tersenyum pada alun — alun kota yang indah, berharap bisa berjalan di tengah dua pohon beringin magis. Tertawa dengan wajah yang tidak asing dan wajah baru di tengah lingkup Gunung besar dan lahan padi yang hijau, basah bekas hujan.

Suatu hari, aku dan teman baik berkunjung ke Museum, tempat favoritku berlabuh ketika hati sedang penuh atau riuh. Pemandu tur kami berucap: “Dahulu, tidak ada sekolah formal. Sekolah yang ada disini adalah seni dan budaya, karena menurut pemimpin kami hal tersebut bisa mengajari kami menjadi manusia yang humanis”. Setuju sekali, pikirku. Banyak hal bisa dipelajari dari kelembutan dalam seni dan budaya, yang tidak bisa dipahami logika dari ilmu eksakta.

Dalam lamunan selepas tur Museum, kupandangi lanskap indah nan sejuk pasca hujan sore hari. Belakangan ini memang selalu hujan hampir setiap harinya. Menyenangkan sekali karena aku suka hujan.

Pada bulan April, aku belajar banyak perspektif. Seperti, keinginan seseorang untuk didengar ketika sedang curhat adalah ego individu terkait untuk didengarkan. Kemudian, problematika manusia modern saat ini, ingin semua instan dan kita semua sangat mudah digantikan. Tentu saja ini bisa jadi masalah, karena tentu saja tidak semudah hitam putih bila kita bicara perasaan dan manusia. Mana yang perlu bijak dilakukan dengan sabar dan mana yang perlu ditinggal. Mana yang diperjuangkan dan dilepas.

Kali yang lain, kususuri jalanan kota ini dengan sabar. Maksudku, dengan jalan sangat pelan dan penuh pemaknaan. Aku sembari memikirkan konsep kepercayaan, harapan, dan kasih. Kita bisa percaya, dan berharap. Namun apabila kenyataannya tidak sesuai kepercayaan dan harapan, Apakah manusia bisa berbelas kasih dan menunjukkan cinta untuk menerimanya? Menerima seperti itu saja keadaannya. Jujur dan tanpa penghakiman?

Dalam gelas — gelas minuman dan piring makanan yang bergantian, wejangan yang ditujukan padaku, kala itu dalam diamku kudengar dengan penuh atensi dan rasa syukur.

Kalau kamu sekarang lagi ada di atas dan nggak menemukan ada masalah, itu cuma tinggal waktunya saja. Bukannya nggak ada, belum. Kalau kamu merasa sedang di bawah dan banyak masalah, berarti kamu sedang dalam perjalanan menuju ke puncak. Intinya, dimanapun posisinya, di atas, di bawah, pasti ada saja tantangannya. Jangan lihat masalah itu sebagai ujung dunia.

Pada akhir perjalananku, koper rasanya lebih ringan dan bawaanku juga lebih sedikit. Perjalanan pulang kulalui dengan kereta, jam demi jam terasa lebih cepat dan ku lebih sering tertidur. Kuletakkan pemikiran dan kebijaksanaan yang kudapat dari orang — orang hebat yang kutemui dengan penutup bahwa aku perlu belajar lebih berwelas asih pada diri sendiri. Terlebih ketika aku ada di titik terendah, ketika aku kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri, dan ketika aku seperti berjalan dalam lingkaran, tidak bertujuan, tidak tahu harus kemana dan sepertinya tidak ada yang bisa diselesaikan.

Berani untuk duduk dengan ketidaknyamanan itu. Mempersilahkannya hadir, kemudian merasakan sepenuhnya, seperlunya. Duduk tanpa penghakiman, hanya dalam diam. Untuk kemudian berjalan untuk menjalani keseharian. Karena Bumi pun tidak pernah berhenti mengelilingi matahari dan tata surya.

Mungkin sekalian bisa jadikan itu inspirasi untuk menari memutari kemalangan atau rintangan, dengan komedi, merayakan hidup.

Aku terbangun hingga akhir perjalananku. Kubiarkan pemikiranku terbang kemana — mana, sambil mengetik tulisan ini.

Kebijaksanaan hadir dari pembelajaran dan hati yang terbuka untuk melihat bahwa kemalangan/rintangan itu bukan ujung dunia atau penentu nasib. Kemudian, merayakan sebagai seorang manusia. Sedih dan kesal, kecewa dan lega perihal perpisahan maupun pertemuan. Kutemukan ini pada bacaan acak yang muncul pada halaman utama media sosial: …Hal itu adalah proses yang harus dilewati. Menyakitkan tapi perlu.

Menjadi dewasa, berarti berani mengungkapkan sedang butuh apa, ingin apa. Perlu bicara lebih lantang dan lugas. Termasuk juga dalam hal meminta bantuan. Karena orang — orang disekitar kita ini peduli selama kita percayai mereka. Mereka bukan peramal yang bisa tahu isi pikiran, dan menjadi dewasa berarti bukan lagi seperti anak kecil yang harus ditebak dari tangisan atau rengek manja untuk tahu apa yang dibutuhkan.

Menariknya, pun sudah lantang bicara apa yang dibutuhkan dan minta tolong, pengertiankah kita bila orang yang kita cintai dan dekat dengan kita ini tidak bisa menolong? Mengertikah bahwa pemahaman dan diri kita berbeda — beda dalam keindahannya masing — masing?

Mengakui beberapa kekalahan dan kesalahan, kesesalan, kepahitan, kekonyolan pada salah paham dalam komunikasi dan relasi kita.

Lamunanku membawa kepada konversasiku dengan sang ‘Mbak’ dua tahun silam. Saat itu kami sedang berbincang soal dirinya yang ditinggal menikah sang kekasih. Dengan percaya diri beliau berkata “Kalau aku tersakiti, biarkanlah tersakiti. Karena pada akhir hari, Aku jatuh cinta. Jadi ya kurayakan saja. Kuhormati keputusannya, walaupun Aku juga tidak mengerti seutuhnya kejadian ini.” Cinta sebesar itu, jenis cinta yang tidak menekankan kepada kepemilikan egoistik dan narsisistik namun penghormatan akan kebebasan. Indah sekali, walaupun masih belum kurasakan, namun tepat sekali pemikiran ini hadir bersama rentetan lamunan acakku hari ini.

Berminggu — minggu setelahnya,

Aku berbincang dengan seorang teman.

Kami sama — sama dalam proses merelakan dan melepas seseorang yang penting belakangan ini. Dalam obrolan sore hingga malam, kami bergurau akan kehilangan, emosi, serta memori baik. Kami sepakat ini adalah memori baik, karena walaupun masih ada rasa sedih, bisa kulihat temanku ini memutar kenangan indah dalam selip ceritanya. Memori baik pada beberapa gedung di bilangan Jakarta Selatan, lagu, hidangan makanan tertentu. Mungkin ini proses berduka. Pun tidak ada lagi yang bisa diubah.

Buatku, kupercayakan diriku bisa tahu kapan melanjutkan nelangsa dan emosi ini. Sebagiannya, kupercayakan pada orang — orang yang peduli kepadaku. Mungkin saja, bagi mereka yang peduli itu perasaanku sulit untuk mereka pahami. Tapi mereka tidak perlu paham rasanya, mereka hanya perlu hadir dan menghibur. Mereka akan duduk saja, atau duduk dan mengelus pundak, atau mengacak — acak rambut, atau mereka akan memberikan kata penyemangat.

Mengajariku lagi, bahwa wujud cinta ini banyak sekali. Teduhnya tatap, beberapa menit bercengkrama, pelukan hangat, sampai ucapan sederhana “Aku memikirkanmu hari ini, kuharap kamu lebih baik dari terakhir bertemu” ; “Ketika baca ini, Aku jadi ingat kamu. Jadi kubagikan denganmu. Semangat ya.”, bahkan tindakan konyol seperti mengajak nonton film bioskop komedi. Walau wajahku jelek sekali ketika menangis, dan tabah karena kutolak semua ajakan makan. Habisnya seharian perutku tidak bersahabat, stress akibat banyak pikir.

Aku dan temanku melanjutkan perjalanan dengan bernyanyi lagu patah hati yang diselingi lagu bertempo. Kubayangkan udara sejuk malam ini menyentuh kulit, ketika kita melewati Bundaran HI. Aku berkata dalam hati, kita ini sangaaaat bebas! Kita tidak perlu validasi orang lain atas perasaan kita, atau sayap untuk terbang. Selama ini kubawa nelangsa itu kemana — mana, masih kusimpan di saku celana, deretan buku, selipan kertas kecil! Khawatir bahwa memoriku rusak, hilang, dan aku belum siap untuk berpisah.

Kenapa kita jahat sekali dengan diri sendiri? Terlalu ketat tidak boleh begini, tidak boleh merasakan itu. Sampai mengekang jiwa kita untuk berjalan — jalan. Padahal banyak hal masih belum dieksplorasi, orang lain yang peduli, dan kamu. Kamu yang merasa sendiri, sebenarnya tidak pernah sendirian. Jadi, biarkan saja kita berselebrasi atas patah hati ini. Karena hidup itu kontinuum, tidak semuanya positif, tidak semuanya negatif. Tapi percampuran keduanya, dan hal — hal lain juga.

Selamat atas merayakan jadi manusia dan belajar lagi. Sehingga, dengan membungkuk dan tulus kuucap terima kasih, hidup. Karena sudah mengajarkanku untuk mengakui perasaan, membantu orang lain agar bisa lebih memahamiku, dan untuk membolehkanku mencari diriku sendiri. Menemukannya ketika bingung dan butuh bantuan.

Kemudian kita akan belajar lagi di hari — hari selanjutnya.

--

--