Pelecehan Seksual adalah Perjuangan Humanisme.

Myra Saviera
6 min readJul 24, 2021

Sedari zaman penjajahan pada masa perang dunia kedua, ribuan lebih perempuan Indonesia ditahan dan diperkosa. Puluhan ribu orang perempuan Indonesia juga menjadi korban kekejaman Jepang. Banyak sekali saksi bisu dan saksi hidup penyintas lainnya, baik yang tidak terungkap maupun secara vokal terucap. Seiring berjalannya waktu, Indonesia merdeka. Sebagai negara hukum dan berdaulat, rasa aman dan nyaman hidup bermasyarakat tidak hanya berarti bebas dari kriminalitas namun juga tindak kejahatan pelecehan seksual maupun kejahatan seksual secara langsung maupun siber.

Perjuangan kasus — kasus pelecehan seksual ini personal, namun membutuhkan gerakan kolektif untuk memastikan bahwa isu kemanusiaan ini diusut tuntas. Memastikan ada perbaikan atas perjuangan hak atas asasi manusia serta perlindungan korban. Pemerkosaan, pelecehan seksual, dan kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat, walaupun laki — laki dan anak laki — laki mengalami kekerasan seksual maupun kekerasan berbasis gender juga, namun perempuan di seluruh dunia secara tidak proporsional terdampak atas kekerasan seksual (Harvard Kennedy School, Women and Public Policy Program).

Banyak kita jumpai penyintas menjadi pihak yang disalahkan. Misalkan, korban telah mengalami pengalaman kekerasan atau pelecehan seksual pada beberapa tahun lalu. Namun baru berani membicarakannya belakangan ini. Keterbukaan bercerita bukan hal mudah. Terdapat potensi adanya luka batin, trauma, ketidakpercayaan untuk bercerita. Terlebih, ketabuan di masyarakat.

Ethics of care, atau etika kepedulian adalah pendekatan feminis terhadap etika yang menantang teori moral tradisional yang problematik dan berpusat kepada satu gender saja. Menjadi penting mengulik pembahasan pelecehan seksual dari sudut pandang moralitas yang berempati kepada korban. Karena pada akhirnya kita dihadapkan pada perjuangan humanisme atas suatu tindakan yang melewati batas kebebasan individual. Artikel ini akan mengulas mengenai beberapa tinjauan riset ilmiah mengenai etika kepedulian dalam hal pelecehan seksual, dan beberapa pemikiran terbatas penulis.

Ethics of care mewakili pengambilan keputusan berdasarkan moralitas hadir dengan konsepsi rasionalitas dan logika. Fokusnya adalah memahami secara universal dan objektif untuk membela emosi tertentu seperti kepedulian dan welas asih. Etika ini berakar dari ideologi feminis yang menyadari (1) Terdapat suatu aturan untuk membatasi perilaku manusia, dan (2) Rasionalitas dalam pengambilan keputusan dipengaruhi oleh hubungan yang dimiliki manusia.

Manning (1992) menghimpun keharusan untuk peduli dalam tiga cara. Agar maknanya tidak berubah, maka tidak saya terjemahkan.

  1. When there is a need, one ought to care,
  2. Sustaining human relationships requires care,
  3. In order to develop the capacity to care, one must experience care.

Tentu saja, karena seseorang tidak dapat selalu peduli secara konstan 24/7 tanpa batas, beberapa limitasi dibutuhkan. Manning menyarankan bahwa kepedulian adalah keharusan prima facie (at first face) kecuali ketika dihadapkan dengan kewajiban yang menentang dan lebih besar daripada tindakan kepedulian yang dibutuhkan dilakukan pertama kali. Dengan kata lain, dalam pengukuran kebijaksanaan dan konteks tertentu.

Teori etika kepedulian ini sangat kompleks dan masih terus berkembang dalam praktiknya. Pemikiran filsafat moral yang menghormati hal — hal otentik, tidak menindas dan melakukan kekerasan atas pemahaman kebebasan serta hak otonomi individu dapat juga bermata dua. Karenanya, bicara moralitas juga bicara pemahaman kebijaksanaan (virtue) serta keadilan (democracy of intimacy) secara beriringan dan berlangsung baik.

“Seks dan seksualitas lahir dari pengalaman kemanusiaan, yang dinamis, fluid, objektif, dan inklusif”. Rocky Gerung (Women Research Institute, 2017).

Menurut saya, edukasi akan seksualitas dan seks dapat ditarik lebih jauh, melingkupi atas pemahaman moralitas, etika kepedulian, serta pemahaman bagaimana cara menanggapi kejadian pelecehan seksual. Terlalu menyedihkan mendengarkan ujaran yang dangkal dan terkesan menggampangkan, menyepelekan, seperti:

“Pelecehan seksual itu bagian dari occupational hazard. Jadi dihadapi saja,”

“Jangan bawa lah masalah personal ke kerjaan gini. Diem aja, Nanti kena masalah”

“Yaudah lah, pun bentuknya virtual gini. Nggak ada buktinya juga. Sabar aja,

“Ya gimana, gue mau ngelapor juga paling diomongin orang-orang, malu ah gue.

“Kamu itu loh, masih anak sekolah udah tau-tauan soal ginian, mana buktinya?”

“Lihat tuh! Digodain di Tinder aja nyeritainnya kemana — mana, lebay banget dah.”

Serta banyak contoh yang lainnya.

Tahun 2020 saya mengadakan survei kecil — kecilan, hanya 20 responden semuanya mahasiswa suatu perguruan tinggi di Indonesia. Pertanyaannya adalah: Apakah mereka mengetahui adanya kasus pelecehan atau kekerasan seksual di Universitas, 90% (18 responden) menjawab tahu dan sisanya tidak.

Pertanyaan kedua adalah kualitatif: Bila ada korban pelecehan atau kekerasan seksual, apa yang kalian harapkan untuk dilakukan? Berikut ragam jawabannya:

  • Korban dilindungi dan pelaku diadili
  • Jujur, dari kampus DO atau atleast cuti 1 th
  • dari kampus lgsg kasih sanksi, klo ga mempan lapor ke polisi jg plus sanksi sosial
  • Yg pasti tindakan dari kampus hrs lebih tegas buat masalah ini terlepas dari bagaimana image kampus nantinya. Krn sejauh ini ngeliat masalah sexual harassment yg ada, pihak kampus justru malah mengutamakan image kampus yg hrs dijaga dan melupakan para penyitasnya. Dgn adanya lembaga independen x sbnrnya membantu kampus untuk terlibat dan berhubungan dgn para penyitas serta pelaku dari peristiwa yg terjadi. Mengingat x itu kampus yg sangat luas dan mahasiswanya banyak dan beragam. Jadi yg diharapkan lebih kepada keterlibatan pihak kampus untuk menindak lanjuti kasus kasus yg ada agar penyitas mendapat keadilan dan pelaku mendapatkan hukuman yg membuat mereka jera serta pada akhirnya tidak ada lagi penjahat penjahat seksual yg baru muncul

Pertanyaan ketiga adalah pertanyaan kualitatif: Menurut kalian, bagaimana penanganan pihak kampus beserta lembaga universitas bertindak terhadap pelecehan dan kekerasan seksual?

  • gue beneran blm denger kabar apapun ttg penanganannya
  • belom kedengeeran ga si, kyk kurang efektif dan sosialisasinya
  • oke sih cuma lamaaa dan bertele tele harus viral dulu
  • Sbnrnya gatau kampus x udh punya SK nya atau engga terhadap kasus kasus kekerasan/pelecehan seksual kyk gini. Tp menurut gue kampus x sangat amat belum concern sm satu hal ini. Terkesan sangat amat menjaga image kampus dgn acuh sama kasus kasus yg ada tsb
  • Jujur kayanya kalo dibandingin sama perguruan tinggi lain, kampus x termasuk lumayan sih. Udah ada handbook buat sexual assault gitu. Tp emang gue belom pernah liat ada mahasiswa yg DO atau gimana gitu gara2 kasus kaya gini, unlike kampus swasta. Tp ya understandable meskipun ga nge-justify kampus x kaya gini udah ok.

Banyak insights diluar polling yang saya lakukan :

  1. Narasumber A : I don’t know how to say this krn aku belom pernah cerita ke siapa2. Sebenernya di fakultas kita juga ada, dan… aku pernah jd korban. Sampe skrg aku belo berani cerita ke siapa2. Pernah cerita ke x dan beberapa orang, tp ceritanya cuma aku “dideketin” gak sampe yg gimana2 but actually its worst than that. gabisa speak up karena aku tahu gak akan ada yg percaya, dia salah satu tokoh di fakultas kita yg imagenya selalu anak yg alim dan pemuka agama. Sementara aku walaupun jg punya power di fakultas, siapa sih aku? gak bakal ada yg percaya. Aku tuh trigger bgt gara2 kasusnya bermunculan.
  2. Narasumber B : Yah di FE banyak dan gue jg bbrp kali kena. Males gue lanjutin aja urusannya. Gue cerita ke temen gue, temen gue ga percaya karena dia anak hits FE bgt. Sampe akhirnya dia lg buka snapchat di hp gue dan keliatan itu orang ngirimin apa aja ke gue. Dan dr situ temen gue baru ngeh kalo si hits FE ketemu gue, emang disgusting bgt lagaknya 🤮

Kegagalan institusi majemuk mulai dari pemerintah dan pendidikan yang masih gugup membuka diskusi atas seksualitas dan orientasi seksual. Juga perihal pelecehan, tindakan asusila, dan tata cara pelaporan serta perlindungan untuk korban. Walaupun pemahaman dengan pondasi nilai kemanusiaan dan keadilan gender telah dipahami lebih baik belakangan ini, namun diskusi dan intensitas bahasan soal seksualitas dan kekerasan berbasis gender maupun seksual perlu dilindungi perundang — undangan lebih baik.

Lebih serius lagi.

“Akademisi juga berperan dalam hal pengentasan ketumpulan pemahaman atas moralitas, etika kepedulian, dan mengenai seksualitas.” ujar Rocky Gerung, dalam diskusi mengenai Seks dan Moralitas.

Pelecehan seksual adalah perjuangan humanisme.

Banyak sekali keragaman kekerasan seksual yang sensitif dan belum tersingkap. Alasannya: topik ini sulit dibahas. Mungkin penyintas, aktivis, akademisi, dan masyarakat sipil telah bertindak. Bercerita, tapi ditanggapi sebelah mata, disepelekan, disalahkan. Apakah karena ketidakmampuan beberapa dari kita untuk memahami pelecehan seksual ini perjuangan kolektif dan humanis?

Sampai kapan pelecehan seksual, kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender menjadi suatu ketabuan mencari salah dan benar? Berada pada kubu pelapor, terlapor, dan opini publik yang berpotensi menyudutkan salah satu pihak, bahkan memunculkan sentimen. Biarkan hal tersebut terulang dan terjadi tanpa perlawanan dengan semangat kemanusiaan dan hidup bersama sebagai masyarakat akan berpotensi mengganggu kesejahteraan sosial. Akhirnya, mengerosi humanisme kita.

Referensi:

Manning, R. C. (1992). Speaking from the Heart: A Feminist Perspective on Ethics. Lanham, MD: Rowman & Littlefield Publishers.

Vonk, M. E. (1999). An ethic of care: A framework for ethical decision making with survivors of sexual assault, Social Thought, 19:1, 49–62. Retrieved from Routledge Online Database, June 5th 2021.

Women Research Institute (2017). Seks dan Moralitas. Accessed https://www.wri.or.id/event/diskusi/283-seks-dan-moralitas.html#.YOxOxC1h2iI, July 12th 2021.

--

--